Rabu, 09 Januari 2013

Disorientasi 2


Manusia yang memiliki orientasi masa lalu [kembali berorientasi masa lalu], adalah mereka yang telah purna tugas. Mereka adalah para pensiunan sipil dan militer; pahlawan dan veteran perang; dan pada umumnya telah menjadi opa-oma atau kakek-nenek. Mereka selalu bercerita tentang pengalaman dan kenangan masa lalu [misalnya, ketika revolusi, keberhasilan masa muda]; semuanya itu sekaligus sebagai suatu kebanggaan, yang menurutnya harus ditiru oleh anak cucu.
Pada sikon seperti itu, maka mudah dimengerti jika ada oma-opa yang [terus menerus] bercerita tentang semua pengalaman masa lalunya; meskipun anak-cucu atau orang-orang di sekitarnya sudah ratusan kali mendengarnya. Dan ketika, suara atau cerita tersebut tidak ada yang mendengar [karena membosankan], maka akan muncul kekecewaan dan stress, kemudian menganggap bahwa sudah tidak ada yang mau mendengarnya, tak diperhatikan, diremehkan, dan lain-lain.
Manusia yang memiliki orientasi masa kini, adalah orang-orang yang yang berada dalam sikon kekinian; mereka sangat nyaman dengan kondisi dirinya; mereka berada di dan dalam rentang waktu masa kini dan lokasi tertentu dengan semua aspek yang bertalian di dalamnya.
Secara negatif, manusia yang hanya berorientasi masa kinai, tak peduli pada hari depan hidup dan kehidupannya; yang penting sekarang bukan besok. Mereka adalah orang-orang yang pada hari ini berhasil dan untung; namun keuntungan itu tidak tertata atau diatur, sehingga besok, menjadi kekurangan atau tidak memiliki apa-apa. Pada sikon itu, ia hanya bertahan hidup karena ada makanan-minuman, dan tidur pada hari ini; tidak memikirkan hari esok; tetapi ketika besok tiba, ia harus mencari lagi dengan berbagai bentuk kegiatan [yang biasanya melanggar hukum, norma]. Orientasi seperti itu, biasanya ada pada diri preman, penjahat, dan para kriminalis lainnya. Sehingga apa yang didapat [saat ini, misalnya karena hasil kejahatan], akan habis dan dihabiskan dalam tempo singkat.
Secara positip, mereka yang berorientasi masa kini, adalah orang-orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan atau sikon hidup dan kehidupan kekinian; ia bisa [bertahan] hidup di manapun ia berada. Pada sikon itu pun, ia selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ia selalu mengikuti dan berusaha menjadi bagian dari perkembangan sosial-kultural-politik. Tampilan dirinya selalu atau cenderung trendy dan mengikuti zaman; selalu menjaga gaya hidup dan kehidupan, meskipun untuk semuanya itu, ia harus mengeluarkan biaya tinggi.
Manusia yang memiliki orientasi masa depan. Ada dua kategori masa depan, yaitu 1 masa depan yang masih terbatas pada dimensi, misalnya ruang dan waktu; dan 2 masa depan eskhatologis, suatu sikon setelah hidup dan kehidupan sekarang [yang masih terkurung dan di batasi oleh dimensi].
Masa depan yang masih di batasi dimensi, waktu akan datang, tetapi masih ada di dunia; hal-hal itu berupa cita-cita, pekerjaan setelah studi, membangun keluarga, kesuksesan hidup, dan seterusnya. Mereka adalah pribadi yang selalu ingat TUHAN, apresiatip pada HAM dan lingkungan hidup. Untuk mencapai masa depan cerah dan gilang-gemilang, biasanya seseorang akan melakukan banyak hal yang baik dan benar dalam hidup dan kehidupan kekiniannya.
Sedangkan, masa depan eskhatologis, biasanya sesuai dengan ajaran Agama-agama; misalnya keamanan dan hidup kekal di Surga. Untuk mencapai masa depan eskhatologis, seseorang harus memiliki kasih, iman, dan pengharapan; tampilan dan keberadaan diri taat dan setia kepada TUHAN Allah; sekaligus menunjukkan pelayanan dan kesaksian sebagai umat beragama yang bertanggung jawab kepada TUHAN dan manusia. Mereka selalu optimis ketika menghadapi segala bentuk pergumulan hidup dan kehidupan, dengan suatu keyakinan bahwa TUHAN Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan baginya.
Manusia yang memiliki orientasi masa depan adalah orang-orang [pada sikon kekinian] belajar dari pengalaman [masa lalu], kemudian menata diri untuk menjangkau, meraih, dan memasuki masa depan. Mereka memiliki perencanaan yang baik, sehingga sekalipun dalam [memiliki banyak] keterbatasan, tetapi belajar dan berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya secara positip dan optimis. Mereka adalah orang-orang yang tangannya terlalu ringan untuk membantu sesamanya. Dalam rangka merubah sikon masyarakat, orang-orang ini, melakukan sesuatu yang dampaknya dirasakan oleh generasi sekarang maupun akan datang. Dengan upaya itu, mereka mampu merubah diri sendiri dan masyarakat.
Orientasi dan disorientasi saling terkait dan tak bisa dipisahkan. Perubahan-perubahan sosial, kultural, politik, ekonomi, adanya penyakit dan gangguan psikologis tertentu, termasuk tekanan-tekanan dan hambatan yang didapat [terhadap] seseorang di lingkungan pekerjaan, rumah tangga, pergaulan sosial, dan sebagainya dapat membuat perubahan orientasi atau bahkan disorientasi.
Disorientasi dapat terjadi pada siapapun, ia tidak mengenal SARA, gender, umur, dan kelas maupun tingkat sosial. Namun kondisi, kesadaran, kekuatan diri masing-masing orang mengalami gejala [penyebab] disorientasi berbeda-beda; sehingga ada yang muncul sebagai pemenang, namun tidak sedikit terjerumus dalam disorientasi. Pada umumnya, disorientasi terjadi atau pada,
Orang-orang yang kepribadiannya rapuh, lemah, dan tidak dewasa psikologis atau adanya keterlambatan perkembangan psikologis, mudah terkena depresi, frustrasi, dan stres akibat tekanan-tekanan tertentu yang datang dari luar dirinya. Mereka tidak kuat atau tak mampu menghadapi ataupun menemukan jalan keluar dari permasalahan dan problem hidup dan kehidupannya. Sehingga mengalami gangguan jiwa akut, tidak terobati, dan tak mengalami perawatan. Mereka termasuk para penderita berbagai penyakit terminal [misalnya cacad tetap, AIDS, kanker, dan lain-lain], yang tipis harapan hidup dan sembuh; ataupun ketidakadaan biaya untuk memperoleh kesembuhan dari penyakit yang diderita, kemudian berakhir dengan bunuh diri.
Mereka, bisa saja, adalah orang dewasa yang dulunya [ketika masih anak-anak dalam keluarga] adalah anak-anak manja dan dimanjakan. Misalnya, anak tunggal, bungsu, atau mereka yang mengalami kelebihan perhatian dan perlindungan dari orang tuanya; ataupun anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga; serta mereka yang ditelantarkan oleh orang tuannya.

Anak-anak jalanan dan terlantar, kaum miskin kota dan desa; harapan masa depannya menjadi sirna akibat sikonnya yang tidak memungkinkan ia mengubah dirinya kearah lebih baik.
Anak-anak muda yang bertumbuh dalam keluarga yang sangat kaya; semua kebutuhan dan keinginannya mudah terpenuhi; tanpa pendidikan tinggi ataupun bekerja keras, mereka dapat hidup [bahkan bisa meninggalkan warisan untuk anak cucu]. Model ini, memunculkan anak-anak muda yang terjerumus pada gaya hidup hedonis dan penggunaan obat-obat terlarang.
Orang-orang yang tak berpendidikan karena kemiskinan. Akibatnya, mereka tidak mampu bersaing dalam masyarakat; anak-anak terlantar; para yatim-piatu yang ditelantar oleh sanak familinya, dan lain-lain.
Orang-orang yang kalah bersaing ataupun terhambat jenjang karier dan pangkat [di institusi pemerintahan, politik, dan militer] akibat sentimen SARA, perbedaan ideologi, ketidaksamaan aliran politik, dan lain-lain.
Orang-orang yang pemahaman agamanya sempit; mereka tadinya, mungkin memiliki orientasi untuk sekedar bertahan hidup, namun ketika mendapat masukan-masukan keagamaan yang fanatik akan mudah berubah menjadi disorientasi. Pada sikon itu, ia mudah menjadi seorang yang anti agama, bersifat sentimen SARA, bahkan menjadi teroris dan bagian dari terorisme.
Bisa juga terjadi pada diri para pensiunan alamiah ataupun pensiun paksaan atau terpaksa akibat pemutusan hubungan kerja.
Lantas bagaimana mungkin ada perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi? Padahal pada asasnya organisasi sangat membantu bagi seseorang yang hendak mewujudkan kepentingannya. Analisis saya, keadaan seseorang yang demikian disebabkan karena adanya disorientasi organisasi. Yaitu adanya ketidaksamaan antara kepentingan individu dengan kepentingan organisasi.
Pada suatu kasus, ada saja seseorang yang “salah kamar”. Yaitu minat seseorang itu ternyata tidak sama dengan tujuan organisasi. Tujuan organisasi tersebut memang tidak dapat mengakomodir minat seseorang itu. Semisal ada orang yang memiliki minat pada bidang seni musik. Lalu ia memasuki organisasi di bidang pecinta alam. Harapannya untuk dapat mengembangkan diri dalam seni musik kemungkinan akan sirna di organisasi tersebut, karena memang organisasi tersebut tidak bergerak di bidang seni musik. Jika seseorang tersebut diteruskan berproses disana, maka yang ada ialah kekecewaan yang akhirnya akan menjalani organisasi dengan rasa terpaksa.
Disorientasi ini juga disebabkan oleh suatu hal. Menurut Firmanzah, ada dua karakteristik pemilih, yakni rasionalitas dan tradisionalitas. Rasionalitas menurutnya ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan, dibuktikan secara empiris dan logis. Semakin kalkutatif dan memaksimalisasi kepentingannya, semakin rasional pula individu tersebut. Sedangkan tradisionalitas ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal seperti figurisme, kultus, ikatan emosional, mitos, simbol, dan takhayul. Tradisionalitas sangat berkebalikan dengan rasionalitas. Tapi bukan berarti dua ciri ini merupakan pilihan yang mutlak. Artinya tidak ada yang seratur persen rasionalis dan begitu pula dengan tradisionalis, yang ada hanya kecenderungan. Kaitannya dengan permasalahan ini, menurut penulis perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi disebabkan terlalu besarnya kecenderungan tradisionalitas seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar