Manusia yang memiliki orientasi masa lalu [kembali
berorientasi masa lalu], adalah mereka yang telah purna tugas. Mereka adalah
para pensiunan sipil dan militer; pahlawan dan veteran perang; dan pada umumnya
telah menjadi opa-oma atau kakek-nenek. Mereka selalu bercerita tentang
pengalaman dan kenangan masa lalu [misalnya, ketika revolusi, keberhasilan masa
muda]; semuanya itu sekaligus sebagai suatu kebanggaan, yang menurutnya harus
ditiru oleh anak cucu.
Pada sikon seperti itu, maka mudah dimengerti jika
ada oma-opa yang [terus menerus] bercerita tentang semua pengalaman masa
lalunya; meskipun anak-cucu atau orang-orang di sekitarnya sudah ratusan kali
mendengarnya. Dan ketika, suara atau cerita tersebut tidak ada yang mendengar
[karena membosankan], maka akan muncul kekecewaan dan stress, kemudian
menganggap bahwa sudah tidak ada yang mau mendengarnya, tak diperhatikan,
diremehkan, dan lain-lain.
Manusia yang memiliki orientasi masa kini, adalah
orang-orang yang yang berada dalam sikon kekinian; mereka sangat nyaman dengan
kondisi dirinya; mereka berada di dan dalam rentang waktu masa kini dan lokasi
tertentu dengan semua aspek yang bertalian di dalamnya.
Secara negatif, manusia yang hanya berorientasi
masa kinai, tak peduli pada hari depan hidup dan kehidupannya; yang penting
sekarang bukan besok. Mereka adalah orang-orang yang pada hari ini berhasil dan
untung; namun keuntungan itu tidak tertata atau diatur, sehingga besok, menjadi
kekurangan atau tidak memiliki apa-apa. Pada sikon itu, ia hanya bertahan hidup
karena ada makanan-minuman, dan tidur pada hari ini; tidak memikirkan hari esok;
tetapi ketika besok tiba, ia harus mencari lagi dengan berbagai bentuk kegiatan
[yang biasanya melanggar hukum, norma]. Orientasi seperti itu, biasanya ada
pada diri preman, penjahat, dan para kriminalis lainnya. Sehingga apa yang
didapat [saat ini, misalnya karena hasil kejahatan], akan habis dan dihabiskan
dalam tempo singkat.
Secara positip, mereka yang berorientasi masa kini,
adalah orang-orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan atau sikon hidup
dan kehidupan kekinian; ia bisa [bertahan] hidup di manapun ia berada. Pada
sikon itu pun, ia selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ia
selalu mengikuti dan berusaha menjadi bagian dari perkembangan
sosial-kultural-politik. Tampilan dirinya selalu atau cenderung trendy dan
mengikuti zaman; selalu menjaga gaya hidup dan kehidupan, meskipun untuk
semuanya itu, ia harus mengeluarkan biaya tinggi.
Manusia yang memiliki orientasi masa depan. Ada dua
kategori masa depan, yaitu 1 masa depan yang masih terbatas pada dimensi,
misalnya ruang dan waktu; dan 2 masa depan eskhatologis, suatu sikon setelah
hidup dan kehidupan sekarang [yang masih terkurung dan di batasi oleh dimensi].
Masa depan yang masih di batasi dimensi, waktu akan
datang, tetapi masih ada di dunia; hal-hal itu berupa cita-cita, pekerjaan
setelah studi, membangun keluarga, kesuksesan hidup, dan seterusnya. Mereka
adalah pribadi yang selalu ingat TUHAN, apresiatip pada HAM dan lingkungan
hidup. Untuk mencapai masa depan cerah dan gilang-gemilang, biasanya seseorang
akan melakukan banyak hal yang baik dan benar dalam hidup dan kehidupan
kekiniannya.
Sedangkan, masa depan eskhatologis, biasanya sesuai
dengan ajaran Agama-agama; misalnya keamanan dan hidup kekal di Surga. Untuk
mencapai masa depan eskhatologis, seseorang harus memiliki kasih, iman, dan
pengharapan; tampilan dan keberadaan diri taat dan setia kepada TUHAN Allah;
sekaligus menunjukkan pelayanan dan kesaksian sebagai umat beragama yang
bertanggung jawab kepada TUHAN dan manusia. Mereka selalu optimis ketika
menghadapi segala bentuk pergumulan hidup dan kehidupan, dengan suatu keyakinan
bahwa TUHAN Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan baginya.
Manusia yang memiliki orientasi masa depan adalah
orang-orang [pada sikon kekinian] belajar dari pengalaman [masa lalu], kemudian
menata diri untuk menjangkau, meraih, dan memasuki masa depan. Mereka memiliki
perencanaan yang baik, sehingga sekalipun dalam [memiliki banyak] keterbatasan,
tetapi belajar dan berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya
secara positip dan optimis. Mereka adalah orang-orang yang tangannya terlalu
ringan untuk membantu sesamanya. Dalam rangka merubah sikon masyarakat,
orang-orang ini, melakukan sesuatu yang dampaknya dirasakan oleh generasi
sekarang maupun akan datang. Dengan upaya itu, mereka mampu merubah diri
sendiri dan masyarakat.
Orientasi dan disorientasi saling terkait dan tak
bisa dipisahkan. Perubahan-perubahan sosial, kultural, politik, ekonomi, adanya
penyakit dan gangguan psikologis tertentu, termasuk tekanan-tekanan dan
hambatan yang didapat [terhadap] seseorang di lingkungan pekerjaan, rumah
tangga, pergaulan sosial, dan sebagainya dapat membuat perubahan orientasi atau
bahkan disorientasi.
Disorientasi dapat terjadi pada siapapun, ia tidak
mengenal SARA, gender, umur, dan kelas maupun tingkat sosial. Namun kondisi,
kesadaran, kekuatan diri masing-masing orang mengalami gejala [penyebab]
disorientasi berbeda-beda; sehingga ada yang muncul sebagai pemenang, namun
tidak sedikit terjerumus dalam disorientasi. Pada umumnya, disorientasi terjadi
atau pada,
Orang-orang yang kepribadiannya rapuh, lemah, dan
tidak dewasa psikologis atau adanya keterlambatan perkembangan psikologis,
mudah terkena depresi, frustrasi, dan stres akibat tekanan-tekanan tertentu
yang datang dari luar dirinya. Mereka tidak kuat atau tak mampu menghadapi
ataupun menemukan jalan keluar dari permasalahan dan problem hidup dan
kehidupannya. Sehingga mengalami gangguan jiwa akut, tidak terobati, dan tak
mengalami perawatan. Mereka termasuk para penderita berbagai penyakit terminal
[misalnya cacad tetap, AIDS, kanker, dan lain-lain], yang tipis harapan hidup
dan sembuh; ataupun ketidakadaan biaya untuk memperoleh kesembuhan dari
penyakit yang diderita, kemudian berakhir dengan bunuh diri.
Mereka, bisa saja, adalah orang dewasa yang dulunya
[ketika masih anak-anak dalam keluarga] adalah anak-anak manja dan dimanjakan.
Misalnya, anak tunggal, bungsu, atau mereka yang mengalami kelebihan perhatian
dan perlindungan dari orang tuanya; ataupun anak-anak korban kekerasan dalam
rumah tangga; serta mereka yang ditelantarkan oleh orang tuannya.
Anak-anak jalanan dan terlantar, kaum miskin kota
dan desa; harapan masa depannya menjadi sirna akibat sikonnya yang tidak
memungkinkan ia mengubah dirinya kearah lebih baik.
Anak-anak muda yang bertumbuh dalam keluarga yang
sangat kaya; semua kebutuhan dan keinginannya mudah terpenuhi; tanpa pendidikan
tinggi ataupun bekerja keras, mereka dapat hidup [bahkan bisa meninggalkan
warisan untuk anak cucu]. Model ini, memunculkan anak-anak muda yang terjerumus
pada gaya hidup hedonis dan penggunaan obat-obat terlarang.
Orang-orang yang tak berpendidikan karena
kemiskinan. Akibatnya, mereka tidak mampu bersaing dalam masyarakat; anak-anak
terlantar; para yatim-piatu yang ditelantar oleh sanak familinya, dan
lain-lain.
Orang-orang yang kalah bersaing ataupun terhambat
jenjang karier dan pangkat [di institusi pemerintahan, politik, dan militer]
akibat sentimen SARA, perbedaan ideologi, ketidaksamaan aliran politik, dan
lain-lain.
Orang-orang yang pemahaman agamanya sempit; mereka
tadinya, mungkin memiliki orientasi untuk sekedar bertahan hidup, namun ketika
mendapat masukan-masukan keagamaan yang fanatik akan mudah berubah menjadi
disorientasi. Pada sikon itu, ia mudah menjadi seorang yang anti agama,
bersifat sentimen SARA, bahkan menjadi teroris dan bagian dari terorisme.
Bisa juga terjadi pada diri para pensiunan alamiah
ataupun pensiun paksaan atau terpaksa akibat pemutusan hubungan kerja.
Lantas bagaimana mungkin ada perasaan keterpaksaan
dari seseorang ketika berproses dalam organisasi? Padahal pada asasnya
organisasi sangat membantu bagi seseorang yang hendak mewujudkan
kepentingannya. Analisis saya, keadaan seseorang yang demikian disebabkan
karena adanya disorientasi organisasi. Yaitu adanya ketidaksamaan antara
kepentingan individu dengan kepentingan organisasi.
Pada suatu kasus, ada saja seseorang yang “salah
kamar”. Yaitu minat seseorang itu ternyata tidak sama dengan tujuan organisasi.
Tujuan organisasi tersebut memang tidak dapat mengakomodir minat seseorang itu.
Semisal ada orang yang memiliki minat pada bidang seni musik. Lalu ia memasuki
organisasi di bidang pecinta alam. Harapannya untuk dapat mengembangkan diri
dalam seni musik kemungkinan akan sirna di organisasi tersebut, karena memang
organisasi tersebut tidak bergerak di bidang seni musik. Jika seseorang
tersebut diteruskan berproses disana, maka yang ada ialah kekecewaan yang
akhirnya akan menjalani organisasi dengan rasa terpaksa.
Disorientasi ini juga disebabkan oleh suatu hal.
Menurut Firmanzah, ada dua karakteristik pemilih, yakni rasionalitas dan
tradisionalitas. Rasionalitas menurutnya ialah tipe pemilih yang mengedepankan
hal-hal yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan, dibuktikan secara empiris dan
logis. Semakin kalkutatif dan memaksimalisasi kepentingannya, semakin rasional
pula individu tersebut. Sedangkan tradisionalitas ialah tipe pemilih yang
mengedepankan hal-hal seperti figurisme, kultus, ikatan emosional, mitos,
simbol, dan takhayul. Tradisionalitas sangat berkebalikan dengan rasionalitas.
Tapi bukan berarti dua ciri ini merupakan pilihan yang mutlak. Artinya tidak
ada yang seratur persen rasionalis dan begitu pula dengan tradisionalis, yang
ada hanya kecenderungan. Kaitannya dengan permasalahan ini, menurut penulis
perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi
disebabkan terlalu besarnya kecenderungan tradisionalitas seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar