Contoh Keadilan
Di sebuah wilayah kerajaan nun jauh di sana. Hiduplah dua
orang yang saling bersahabat sejak lama. Mereka adalah Abdullah dan
Abdurrahman. Abdullah seorang petani yang telah terbiasa bekerja keras.
Sedangkan Abdurrahman seorang pedagang yang rajin. Jika Abdullah sedang dalam
kesulitan, Abdurrahman selalu membantunya. Begitupula sebaliknya, jika
Abdurrahman sedang mendapat masalah, Abdullah pasti akan membantu. Kedua
sahabat itu sangat rukun.
Abdullah memiliki seorang anak perempuan bernama Siti. Anak
perempuannya itu senang membantu pekerjaan sang ayah. Selain itu ia juga rajin
dan taat beribadah. Sedangkan Abdurrahman memiliki anak laki-laki bernama
Naufal, yang juga rajin membantu ayahnya berdagang. Sebagai sahabat karib,
keduanya seringkali berkunjung satu sama lain dengan mengajak anak-anak mereka.
Pada suatu hari Abdullah berkunjung ke rumah Abdurrahman. Ia berniat ingin
memperluas lahan pertaniannya. Disampaikanlah niat itu kepada sahabatnya
"Abdurrahman sahabatku .. Aku baru saja selesai panen dan Alhamdulillah
aku mendapat keuntungan yang sangat besar dari hasil panenku. Sekarang aku
berniat untuk menambah lagi lahan pertanianku. Apakah kau punya pandangan lahan
yang dijual di daerah sekitar sini? " Abdurrahman diam sejenak. Ia
berpikir .. "Hmm .. Abdullah adalah sahabatku, ini adalah kesempatan untuk
membantunya " "Abdullah .. Bagaimana jika lahanku saja .. Kebetulan
aku ada sedikit lahan peninggalan orang tua. Lagipula lahan itu tidak ada yang
mengelola karena aku sibuk berdagang. Kau bisa membelinya dengan harga yang
pantas ". "Ohya? Alhamdulillah. . Kau baik sekali, sahabatku. Namun
tentunya aku ingin melihatnya lebih dulu, kalau cocok barulah kita bicarakan
soal harga ". Kemudian mereka bersama-sama menuju ke tempat lahan
Abdurrahman yang akan dijual. "Abdullah .. Inilah lahan yang aku maksud
" "Wah! Lahan ini bagus sekali untuk pertanian. Apakah kau akan
menjualnya semua? ". "Aku akan jual semua untukmu, Abdullah"
"Baiklah, kalau begitu aku akan bayar sesuai dengan harga yang kau
minta" Abdullah pulang dengan hati gembira karena telah mendapatkan lahan
pertanian yang baru. Sesampai di rumah ia pun bercerita kepada Siti, anak
perempuannya, bahwa ia baru saja membeli lahan yang bagus dari sahabatnya.
"Anakku .. Ayo kita pergi ke kota untuk mencari bibit tanaman dan beberapa
alat pertanian. Sebagian alat-alat pertanian kita sudah waktunya diganti yang
baru ". "Baik ayah .. Aku bersiap-siap dulu " Keesokan harinya
mulailah Abdullah dan Siti menggarap lahan yang baru itu. Mereka bekerja keras
tak kenal lelah. Abdullah terus mencangkul tanah dari ujung batas lahan sebelah
barat sampai ujung batas sebelah timur. Sementara Siti membantu mencabuti
rumput dan menyiapkan makanan untuk ayahnya. Pada saat Abdullah asyik
mengayunkan cangkulnya, tiba-tiba TING!! Terdengar suara nyaring dari ujung
cangkulnya. Ia coba sekali lagi mengayunkan cangkulnya, dan .. TING!!, Kembali
cangkulnya menatap sebuah benda keras. "Hai! Siti! Coba kemari .. Ayah
menemukan sesuatu! " Siti datang menghampiri ayahnya. "Ayah! Ayo kita
lihat. Benda apa yang ada di bawah sana " Mereka bersama-sama menggali tanah.
Dan .. Betapa kaget mereka demi melihat apa yang mereka temukan. "Hahh?!
Bokor emas!! "Teriak mereka serentak. Mereka menemukan sebuah bokor emas
sebesar buah kelapa dengan cahaya berkilauan. Siti memungut benda itu dan
membersihkannya dari tanah yang masih melekat. "Waah ... Indah sekali
Ayah. Pasti harganya sangat mahal! Kita beruntung, Ayah! " "Tidak!
Tidak Anakku! Benda itu bukan milik kita. Kita tidak berhak memilikinya. Ayah
hanya membeli lahan ini, bukan isinya. Ayah harus mengembalikan benda ini
kepada pemiliknya, Abdurrahman sahabat Ayah " Abdullah pun bergegas pergi
ke rumah sahabatnya dengan membawa bokor emas yang baru saja ia temukan.
Sesampai di rumah Abdurrahman. . "Abdurrahman sahabatku, aku temukan benda
ini di dalam lahan yang aku beli darimu. Aku tidak berhak memilikinya. Karena
aku membayarmu hanya untuk sebidang lahan dan bukan isinya " "Maaf
Abdullah, aku tidak bisa menerima ini. Karena aku menjual lahan itu, tentu saja
beserta isinya, jadi itu jelas bukan milikku. Tetapi milikmu ". "Aku
juga tidak bisa menerima ini, Abdurrahman. Aku takut kepada Allah jika
mengambil sesuatu yang bukan hakku .. " "Aku pun demikian, Abdullah.
Celakalah diriku jika memiliki sesuatu yang bukan hakku " Mereka bingung
harus bagaimana. Sesaat mereka terdiam, lalu salah satu diantara mereka
mengusulkan, "Bagaimana kalau persoalan ini kita laporkan kepada pak Kyai?
Agar beliau yang memutuskan semuanya. Dan ... Apapun keputusan beliau kita
harus menerimanya " Keduanya sepakat dan sama-sama berangkat menuju rumah
pak Kyai. Sesampai di rumah pak Kyai kedua sahabat itu menyampaikan
permasalahan mereka. Pak Kyai berpikir sejenak, lalu mengajukan pertanyaan
kepada mereka. "Abdurrahman. .. Apakah kau memiliki seorang anak? "
"Iya pak Kyai. Saya punya seorang anak laki-laki ". "Hmm ...
Baik. Apakah anakmu itu sudah cukup dewasa untuk menikah? "Sudah pak Kyai.
Anak saya berumur 26 tahun ". "Bagus" "Tuan Abdullah ..
Apakah kau memiliki seorang anak? " "Iya pak Kyai. Siti adalah anak
perempuan saya satu-satunya " "Berapa usia anakmu?" "Emm ..
Bulan depan, 21 tahun pak Kyai " "Baiklah ... Abdurrahman dan
Abdullah .. Tanyakan kepada anak kalian masing-masing, apakah mereka mau
dijodohkan. Jika mereka mau, juallah bokor emas itu. Lalu uang hasil penjualannya
kalian gunakan untuk membiayai pesta pernikahan anak-anak kalian. Bagaimana?
". Abdurrahman dan Abdullah saling pandang dengan wajah berseri-seri. Lalu
keduanya menganggukkan kepala. Hasil pak Kyai telah membuat mereka bernafas
lega. "Alhamdulillah. . ini adalah keputusan yang sangat adil "
"Iya .. Kita telah mendapatkan jalan keluar atas permasalahan kita "
"Abdurrahman sahabatku .. Kita benar-benar akan menjadi saudara ..! "
"Abdullah .. Kau akan menjadi mertua anakku! Hahaha ...! Kedua sahabat
karib itu pulang dari rumah pak Kyai dengan perasaan suka cita. Namun tiba-tiba
keduanya terdiam. Ada sesuatu yang mereka lupakan ... "Abdurrahman. .
Kenapa kita terlalu bergembira .. ? Kau kan belum bertanya kepada anakmu,
apakah dia mau menikah dengan anakku? " "Benar Abdullah .. Jangan-jangan
anakmu juga tidak mau menikah dengan anakku! " Mereka kembali terdiam.
Pikiran mereka berkecamuk. Mereka kuatir anak-anak mereka menolak dijodohkan.
Kalau sampai itu terjadi berarti persoalan bokor emas itu akan muncul kembali.
Akhirnya mereka sepakat untuk mengumpulkan anak-anak mereka dan menyampaikan
maksud mereka sesuai dengan petunjuk dan nasehat pak Kyai. Keesokan harinya
Abdurrahman mengajak Naufal anaknya berkunjung ke rumah Abdullah. Sementara
Abdullah dan Siti sudah menunggu kedatangan mereka. Dengan sangat hati-hati
mereka menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan mereka hari itu. Lalu diakhir
kalimat mereka, mereka bertanya kepada anak-anaknya. . "Bagaimana anakku?
Apakah kalian mau dijodohkan? " Sejenak Naufal dan Siti saling memandang.
Sementara ayah mereka menunggu jawaban dengan hati berdebar. Akhirnya dengan
serempak Naufal dan Siti memberikan jawaban yang mengejutkan. "Kami memang
sudah lama saling mencintai. Tetapi kami takut untuk mengungkapkan kepada Ayah!
" Mengejutkan sekaligus melegakan hati Abdullah dan Abdurrahman. Mereka
tidak menyadari bahwa kebiasaan mengajak anak-anak mereka saling berkunjung,
rupanya telah menumbuhkan benih cinta diantara anak-anak mereka. Pesta
pernikahan Naufal dan Siti pun dilaksanakan dengan sangat meriah dengan biaya
dari hasil penjualan bokor emas. Sebenarnya, bukanlah nilai bokor emas itu yang
membuat mereka bahagia, akan tetapi kejujuran dan ketulusan merekalah yang
menjadikan bokor emas itu membawa berkah untuk mereka dan kedua anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar