Selasa, 26 Juni 2012

Pengertian Keadilan Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakuai dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keurunan, dan agamanya. Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, kata adil terdapat pada: 1. Pancasila yaitu sila kedua dan kelima 2. Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea II dan IV 3. GBHN 1999-2004 tentang visi Keadilan berasal dari kata adil. Menurut W.J.S. Poerwodarminto kata adil berarti tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang dan tidak memihak. Pembagian keadilan menurut Aristoteles: 1. Keadilan Komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak melihat jasa-jasa yang dilakukannya. 2. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dibuatnya. 3. Keadialn Kodrat Alam adalah memberi sesuatusesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita. 4. Keadilan Konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala peraturang perundang-undangan yang telah diwajibkan. 5. Keadilan Menurut Teori Perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar Pembagian keadilan menurut Plato: 1. Keadilan Moral, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan adila secara moral apabila telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajibannya. 2. Keadilan Prosedural, yaitu apabila seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah diterapkan. Thomas Hobbes menjelaskan suatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan dengan perjanjian yang disepakati. Notonegoro, menambahkan keadilan legalitas atau keadilan hukum yaitu suatu keadan dikatakan adil jika sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Artikel : ANTARA PRITA, MINAH, KORUPTOR (PENGKHIANAT BANGSA) Aku kuliah mengambil jurusan pidana di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Meskipun begitu, seumur hidupku baru satu kali aku menghadiri sidang pengadilan. Aku masih ingat, waktu itu kasusnya pencuri ayam. Pada saat dijatuhi hukuman pidana, si terpidana menangis, hakim berusaha memberikan nasehat pada kata-kata terakhirnya supaya si terpidana tidak mengulangi kesalahan yang sama. Si terpidana mengangguk-angguk. Namun tidak ada rasa iba di hatiku. Kupikir sudah sewajarnya ia dihukum karena mencuri ayam, apalagi memang terbukti di muka pengadilan. Aku menjadi percaya, kalau ilmu yang kupelajari memang bermanfaat untuk masyarakat. Namun apa mau dikata.... Satu dasawarsa kemudian, aku menangis. Hatiku bergolak. Nalarku hampir meledak. Sebagai seorang sarjana hukum aku patut tersinggung. Hukum di Indonesia dipermainkan bak bola sepak. Disepak kesana kemari, digolkan semaunya untuk sebuah kemenangan pihak tertentu. Penonton hanya bisa bersorak-sorak dan yang merasa tidak puas akhirnya akan berkelahi sendiri-sendiri, seperti halnya supporter sepakbola beneran. Sebagai mantan mahasiswa yang menggelorakan reformasi pada tahun 1997 - 1998, kesedihanku makin mendalam. Mungkin benar pendapatku dahulu, bahwa reformasi itu bakalan sia-sia, seharusnya yang kita lakukan adalah revolusi. Tapi apalah artinya berkeluh kesah, menyesali keputusan masa lalu. Sebaiknya kusampaikan saja gejolak hatiku ini kepada kalian, supaya kalian sadar bahwa masa depan Indonesia jauh lebih berharga daripada tingkah laku orang tua kalian saat ini. KASUS PRITA Dikecewakan pihak rumah sakit itu bukan monopoli Prita saja. Sewaktu aku merawat ibundaku di rumah sakit sampai beliau meninggal, tidak terhitung banyaknya rasa kecewaku. Aku sempat menuliskan kekecewaanku itu di media massa, ditanggapi banyak elemen masyarakat yang intinya mereka mendukungku. Yang membuatku lega adalah pihak rumah sakit menyampaikan permintaan maaf karena tidak bisa melayani dengan memuaskan. Itu disebabkan karena mereka melayani ratusan hingga ribuan orang per harinya dan tidak mungkin hanya fokus pada satu orang pasien saja. Satu kalimat pendek ini bisa meredam kemarahanku dan rumah sakit itu tidak pernah kekurangan pengunjung sampai sekarang. Hampir bersamaan dengan kasus Prita, aku mendapati temanku hampir celaka gara-gara diagnosa dokter yang tidak bermutu. Menurut feelingku, temanku itu kena gejala typus. Indikasinya mengarah kesitu semua, karena aku punya pengalaman dengan penyakit typus adik-adikku. Untuk meyakinkan, kuminta ia cek-up di rumah sakit. Oleh pihak rumah sakit diberi berbagai macam obat yang bukan obat typus. Malam harinya langsung keracunan obat, badan bengkak-bengkak, gatal, panas, campur aduk jadi satu. Uniknya, ketika dibawa kerumah sakit yang sama, penyakitnya tetap tidak terdeteksi. Cek darah dilakukan berkali-kali dan Masya Allah, baru pada hari ke-3 setelah ia dirawat, dokter menyatakan ia positif typus dan baru pada saat itulah obat typus diberikan. Anehnya, selama 3 hari itu, temanku tidak pernah mendapatkan penjelasan meyakinkan dari tenaga medis yang ada mengenai penyakitnya meskipun ia sudah bertanya berkali-kali. Jawabannya klise, menunggu hasil lab. Bisa dibayangkan betapa sengsaranya selama tiga hari itu. Temanku menghabiskan waktu hampir satu minggu di rumah sakit itu dan biaya jutaan rupiah. Uniknya, tidak ada permintaan maaf sekalipun dari dokter atau perawat tentang keracunan obat dan cek darah berulang kali tanpa mendapatkan kejelasan penyakitnya Aku heran, aku saja yang tidak sekolah kedokteran bisa punya feeling kalau temanku sakit typus, lha kok dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit internasional perlu waktu 3 hari untuk mendeteksi penyakit kawakan itu, masih ditambah dengan keracunan obat segala. Apakah kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia ini yang salah? Bukankah ada motto yang mengatakan, semakin cepat diketahui penyakitnya, semakin mudah pengobatannya? Ataukah memang disengaja untuk mendapatkan biaya rawat inap yang harganya selangit itu? Memang seperti itulah wajah pelayanan publik di bumi Indonesia yang konon katanya terkenal sebagai bangsa yang ramah ini. Namun aku juga menyadari, ramah tidak berarti professional! Kita terkenal sebagai bangsa yang ramah. Tetapi ramah itu tidak berarti professional! (Ekotama, 7 Desember 2009) Beberapa minggu kemudian, di awal tahun 2009 ini, aku juga kena typus. Aku hanya berdiam diri saja di rumah. Berdasarkan informasi dari surat kabar, tiap hari kumakan ketimun dan minum ekstrak cacing. Alhamdulillah dalam waktu 10 hari sudah segar bugar kembali. Saat itu, aku sudah bertekad tidak akan ke rumah sakit hanya untuk mempertaruhkan nyawaku disana. Kepercayaanku pada rumah sakit dan dokter sudah habis sejak ibundaku meninggal di rumah sakit. Dan yang lebih membuatku gembira, biaya untuk membeli ketimun dan ekstrak cacing itu hanya 100 ribuan, jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan temanku untuk menikmati bed rumah sakit. Tuhan Maha Pemurah...! Tuhan juga Maha Adil dan Maha Bijaksana...! Aku bersujud kepada-Nya..! Kasus Prita adalah kasus kekecewaan konsumen. Langkah yang paling tepat adalah permintaan maaf dari penyedia layanan jasa rumah sakit dan penyedia layanan jasa itu harus memperbaiki kinerja manajemennya. Ini prinsip umum yang dianut oleh pengusaha manapun di dunia ini. Bahkan banyak perusahaan yang justru dengan tangan terbuka meminta kritik dan saran dari para konsumennya. Mereka bersedia menyediakan layanan bebas pulsa hanya untuk menerima keluhan dari pelanggannya! Bisa dibayangkan betapa mulianya para pemilik usaha dan pengelola usaha seperti ini. Barangsiapa memiliki penegak keadilan, sudah barang tentu hukum ditegakkan. Barangsiapa hanya memiliki penegak hukum, keadilan belum tentu ditegakkan. (Ekotama, 18 Desember 2009) Jikalau kemudian kasus Prita menjadi kasus hukum, maka sebagai sarjana hukum logikaku tidak bisa menerimanya. Sejak kapan konsumen kecewa bisa diperkarakan dimuka pengadilan? Seingatku, dosen-dosenku dulu tidak pernah mengajarkanku untuk mengadili konsumen yang kecewa. Bahkan mentor-mentorku yang pengusaha sukses malah mengajarkan kepadaku untuk mencintai dan melayani setulus hati konsumen yang kecewa, sebab hanya dengan cara itulah bisnis bisa terus hidup dan berkembang. Lantas dimana para kolegaku penegak hukum? Dimanakah nurani mereka? Apa kabar undang-undang perlindungan konsumen? Apa kabar undang-undang kesehatan? Bagi mereka yang masih memiliki nurani, pada saat kalimat ini ditulis sedang mengumpulkan koin demi koin untuk meringankan beban Prita yang kecewa. Koin itu nantinya kalau ditimbang dengan timbangan yang menjadi lambang salah satu institusi penegak hukum, mungkin akan membuat timbangannya rusak karena saking beratnya hanya pada satu sisinya. Satu sisi timbangan akan menyentuh tanah, menyentuh ibu pertiwi, sedangkan satu sisi timbangannya akan menggantung di angkasa karena hanya berisi kitab-kitab hukum warisan penjajah yang sudah lapuk dan tidak ada bobotnya. Inilah yang kusebut sebagai keadilan! Hukum itu letaknya di perut,keadilan itu letaknya di relung hati terdalam. Indonesia tidak membutuhkan penegak hukum! Indonesia membutuhkan penegak keadilan! Penegak hukum bisa disuap setiap saat perutnya lapar, penegak keadilan hatinya tidak pernah kelaparan. (Ekotama, 7 Desember 2009) KASUS MINAH Orang tuaku punya kebun yang tidak terlalu luas. Kebun itu selalu ditanami dengan tanaman buah atau tanaman sayur dengan harapan ibundaku dapat memetiknya setiap saat untuk memberi makan kami anak-anaknya. Maklumlah, ibundaku hanyalah seorang pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan, dan beliau memiliki lima orang anak yang sangat membutuhkan asupan gizi cukup tiap hari. Tanaman sayur dan tanaman buah yang ditanamnya di halaman sedikit banyak membantu menghemat uang belanjanya. Halaman rumah itu dipagari, meski pagarnya hanya setinggi 1 meter saja. Cukup untuk memberi tahu tetangga bahwa halaman dan tanaman yang ada disitu milik keluarga kami dan pagarnya pun tidak tinggi supaya kami mudah bersosialisasi. Namun apa mau dikata? Seringkali kulihat ibundaku kecewa, ketika pagi hari ditengoknya buah yang akan dipetiknya untuk aku dan adik-adikku, ternyata sudah dipetik maling malam harinya. Harapan ibundaku untuk memberiku asupan bergizi berupa buah segar pun sirna. Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Namun terjadi berulang-ulang, bahkan buah yang masih setengah matang pun diembat pula. Sungguh keterlaluan maling-maling kelas teri ini. Engkau menginginkan keadilan? Pinjamlah timbangan yang memiliki dua sisi. Masukkan koin Prita di satu sisinya, sedangkan disisi lain masukkan kitab-kitab hukum warisan Belanda yang kita punya. Sisi timbangan yang berisi koin Prita akan menyentuh tanah, menyentuh Ibu Pertiwi, sedangkan sisi timbangan yang berisi kitab hukum warisan Belanda yang mulai lapuk itu akan tergantung di angkasa. Inilah keadilan Indonesia! (Ekotama, 7 Desember 2009) Pernah suatu ketika saking jengkelnya, aku terpaksa menjadi detektif seperti Hunter (tokoh serial televisi di TVRI era tahun ‘80-an yang sangat kugemari) hanya untuk mengetahui siapa pencurinya. Aku mengendap-endap dibawah pohon yang rimbun. Berjam-jam aku digigiti nyamuk. Tepat jam 10 malam, kulihat ada seseorang naik pagar halaman rumahku dan tangannya berusaha meraih buah jambu yang sudah agak matang. Aku emosi, langsung saja kubentak dan kukejar. Sekilas aku tahu bahwa maling itu tetanggaku sendiri. Maling itu lari terbirit-birit sebelum kena pukul tanganku. Buah jambu yang seharusnya kupetik 2-3 hari lagi, terpaksa kupetik malam hari itu supaya aku masih bisa menikmati rasa manisnya dan manfaat gizinya. Itu hanya sekelumit cerita tentang buah jambu. Masih banyak cerita tentang buah mangga, buah papaya dan lain-lain yang sengaja kami tanam untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga kami, tapi justru diambil maling kelas teri. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa maling apapun judulnya tetaplah maling. Pencuri itu tetaplah pencuri, karena mengambil barang yang bukan haknya. Kalau memang maksudnya tidak mencuri, kenapa tidak meminta saja? Bukankah itu lebih terhormat? Pencuri mengambil barang yang bukan haknya, maka ia kehilangan haknya sebagai warga negara yang merdeka. Sedangkan peminta-minta mendapatkan barang yang diinginkannya dengan mengorbankan harga dirinya, namun ia tetap menjadi warga negara yang merdeka. Peminta-minta lebih terhormat daripada pencuri. (Hukum Pencuri & Peminta-minta, Ekotama, 7 Desember 2009) Sebagai seorang sarjana hukum, aku menjadi sangat geram ketika media massa memberitakan tentang Minah yang diganjar hukuman penjara karena terbukti mencuri 3 buah kakao. Media massa mulai menanyakan dimana letak keadilan? Kasus Minah dibandingkan dengan kasus koruptor yang vonisnya selalu ringan. Bahkan seolah-olah kasus Minah disejajarkan dengan kasus Prita. Lagi-lagi, logikaku memberontak. Kasus Prita jelas sangat berbeda dengan kasus Minah. Kasus Prita adalah kasus kekecewaan konsumen yang diubah menjadi kasus hukum. Kasus ini dipaksakan, sehingga putusan pengadilan jauh dari nilai-nilai keadilan. Sedangkan kasus Minah itu kasus pencurian beneran. Dimana-mana, pencuri itu dihukum, bukan dimaafkan. Boleh saja pencurinya minta maaf, tapi kasusnya tetap diproses karena Minah sudah mengambil barang yang bukan haknya. Dimuka hukum yang ada adalah asas persamaan, bukan asas kemanusiaan atau asas belas kasihan atau azas permaafan! Bobot kasus Prita jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus Minah. Minah sudah mendapatkan keadilan dengan dianugerahinya dia hukuman yang pantas atas tindakan pencuriannya. Sedangkan Prita belum mendapatkan keadilannya sebagai konsumen yang kecewa. Pelaku pencurian itu tidak pandang usia. Justru maling-maling tua itu harus diberangus habis supaya tidak menjadi teladan buruk bagi anak cucunya. Jika pencuri kelas teri kita maafkan, apakah pencuri kelas kakap seperti tikus-tikus koruptor itu juga akan kita maafkan? Dosen-dosenku tidak pernah mengajarkanku untuk memaafkan pencuri, tetapi mengadili pencuri sesuai dengan kesalahannya. Maka aku selalu berpandangan bahwa kalau Minah dihukum penjara karena menjadi pencuri kelas teri, maka tikus koruptor yang menjadi pencuri kelas kakap itu harus dihukum mati! Yang membuatku geram adalah ulah media massa yang seolah-olah membela Minah. Sudah jelas diputus bersalah oleh pengadilan dan diganjar hukuman yang setimpal kok masih dibela juga? Bahkan sempat kulihat beberapa wawancara reporter di beberapa stasiun televisi yang seolah-olah memojokkan penegak hukum dengan mendesak apakah mereka tidak mempertimbangkan permintaan maaf Minah pada saat mereka memproses kasus tersebut. Ini kan wawancara yang konyol. Seharusnya wawancara itu bisa dilakukan lebih berbobot untuk kemajuan bangsa Indonesia, misalnya mewawancarai penegak hukum yang memberikan vonis ringan pada para tikus koruptor itu. Jika ada media massa yang membandingkan antara hukuman Minah dengan hukuman koruptor, maka seharusnya yang dikejar adalah para penegak hukum yang mengganjar hukuman lebih ringan kepada koruptor, bukan penegak hukum yang memberikan hukuman pantas kepada Minah. Penegak hukum yang mengganjar hukuman lebih ringan kepada koruptor itu harus bisa membuktikan kepada publik bahwa keputusannya itu dapat dipertanggungjawabkan. Sampai detik ini ditulis, yang kulihat adalah wartawan media massa yang berusaha mencecar penegak hukum yang memproses perkara Minah saja, belum pernah sama sekali aku melihat wawancara wartawan media massa dengan penegak hukum yang memvonis ringan para tikus koruptor itu. Nah, tugas mulia media massa sekarang justru membentuk opini publik bahwa tikus koruptor itu harus dihukum mati tanpa ampun, supaya tercipta asas keadilan di Negara kita. Jika maling kelas teri saja dihukum penjara, maka maling kelas kakap harus dibabat sampai keakar-akarnya. KASUS KORUPTOR Akhir tahun 2009 ini kita disuguhi telenovela murahan. Kepolisian, kejaksaan, KPK baku hantam sendiri gara-gara ulah koruptor. Uniknya, si koruptor malah santai-santai saja tuh. Kepolisian, kejaksaan, KPK babak belur mendapatkan hukuman dari masyarakat yang makin tidak percaya terhadap kinerja para aparat penegak hukum ini. Sementara para koruptor mungkin bertepuk tangan diluar sana, ditempat persembunyiannya. Lantas dimana harga diri Indonesia jika para penegak hukumnya dengan sukarela diadu domba oleh koruptor? Kiamat akan terjadi di negara hukum (rechstaat) yang aparat penegak hukumnya mati lemas diperdaya oleh para pelanggar hukumnya. (Hukum Kiamat, Ekotama, 7 Desember 2009) Inilah cerita yang menggelikan, memalukan, sekaligus memberi teladan buruk bagi para anak bangsa. Sebelum ada acara telenovela murahan ini, rasa keadilan kita sudah terlukai akibat vonis-vonis yang terlalu ringan bagi para koruptor. Kok bisa? Bisa saja! Itulah jika hukum terletak di perut dan keadilan terletak di hati. Bagiku, koruptor itu pembunuh paling keji di Indonesia! Sebagai seorang sarjana hukum, aku tidak akan menempatkan koruptor sebagai penjahat biasa. Aku dengan tegas akan mengatakan bahwa koruptor itu adalah pengkhianat bangsa. Bayangkan, mereka sudah digaji dengan pajak rakyat, masih tega menilep uang rakyat juga dengan berbagai caranya. Mereka seharusnya menjadi pelayan rakyat, bukan menjadi tikus yang menggerogoti rumah rakyat. Apa hukuman bagi seorang pengkhianat? Hukumannya adalah mati! Kepalanya ditanam di sepanjang jalan supaya bisa dijadikan keset bagi anak cucunya.Lantas kenapa negara ini masih setia memelihara koruptor? Karena undang-undang anti korupsi itu dibuat oleh pejabat yang korup. Bagaimanapun mereka perlu hidup untuk menikmati hasil korupsinya sebelum mati dan disiksa di neraka nantinya, sehingga undang-undang anti korupsi pun dengan sengaja dibuat banyak celah-celahnya. Coba tanyakan pada dirimu sendiri, kalau kamu diminta membuat peraturan yang mengikat dirimu, apa yang kamu lakukan? Kamu pasti akan membuat celah-celah kan? Supaya kamu tidak mati karena aturan yang dibuatmu sendiri. Kenapa koruptor divonis lebih ringan dibandingkan dengan pencuri-pencuri biasa? Karena di Indonesia itu koruptor dianggap sebagai pencuri istimewa. Lihat saja perlakuannya di penjara. Semakin istimewa kedudukannya, semakin ringan hukumannya. Sampai kini, Indonesia tidak pernah menganggap koruptor itu pengkhianat bangsa! Koruptor itu bukan pencuri istimewa yang mendapatkan fasilitas istimewa di penjara. Koruptor itu pengkhianat bangsa yang dihukum mati dan kepalanya ditanam disepanjang jalan supaya bisa dijadikan keset bagi anak cucunya! (Hukum Koruptor, Ekotama, 7 Desember 2009) Korupsi adalah terorisme garis lunak. Ia tidak menggunakan bom untuk merusak negara ini. Ia menggunakan sarana hukum dan administrasi yang rapuh. Keduanya sama-sama merusak. Jika kita dibom oleh teroris, kerusakaannya terjadi seketika. Banyak orang mati di suatu tempat. Kerusakan berat juga bisa terjadi di suatu tempat itu. Jika negara kita dikorupsi, kerusakannya sama dengan terorisme, tetapi terjadi secara perlahan. Coba saja lihat jalan raya kita yang hanya berumur kurang dari setahun itu. Itu kan hasil karya koruptor. Coba lihat kerusakannya. Coba lihat berapa banyak nyawa melayang akibat jalan yang rusak itu. Berapa kerugian ekonomi yang kita derita. Jadi, masihkah kau keberatan kalau koruptor kusebut sebagai pengkhianat bangsa? Yang membuatku sangat heran adalah peran media massa. Kalau pada kasus Minah media massa rame-rame menginterogasi penegak hukum supaya memaafkan Minah, kenapa pada kasus koruptor media massa tidak pernah mendesak supaya koruptor itu dihukum mati? Kalau Minah dimaafkan, maka koruptor harus mati! Kalau Minah dipenjara seperti saat ini, berarti koruptor juga harus dipenjara sesuai jatahnya. Dimana suara media massa? Kenapa reality show itu hanya menayangkan tema-tema yang tidak bermutu? Bukankah reality show itu lebih berbobot kalau temanya adalah memburu koruptor? Semua stasiun televisi sekarang dilengkapi reporter yang bisa menyamar dan peralatan rekam yang canggih. Apa sulitnya memburu koruptor? Bukankah koruptor itu hanya manusia biasa, juga makan nasi seperti kita? Peran media massa seperti ini bahkan dapat membantu pemberantasan korupsi dalam arti sebenarnya! Sumber : http://metakalasari.wordpress.com/2010/06/09/pengertian-keadilan/ http://www.suryonoekotama.com/show.php?mode=artikel&id=15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar